Perubahan Wajah Pendidikan Indonesia Setelah Pandemi (Bagian II)

JURNALREALITAS.COM, OPINI
Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk kehidupan bersama adalah memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat)” –Ki Hadjar Dewantara-

Pada Bagian I kita sudah membahas soal kurikulum yang harus disesuaikan dengan ekonomi, sosial-budaya di daerah masing- masing. Nah, di Bagian II ini, kita akan membahas soal kesehatan mental yang dimiliki siswa.

Mengacu pada apa yang terjadi di awal 2020, di mana para siswa terpaksa di rumahkan. Banyak tenaga pengajar dan sekolah yang belum siap menghadapi pandemi, karena menunggu dari pusat. Apakah betul karena mendadak?

Sebenarnya penyebaran virus Covid-19 sudah kita dengar sejak akhir tahun 2019 di Cina. Bagaimana virus tersebut sangat cepat dan tidak dapat diprediksi penyebarannya.

Namun, pikiran “virusnya masih jauh dan belum tentu sampai sini”, membuat kita tidak mempunyai persiapan, baik secara mental maupun fisik.

Jangankan siswa, orangtua dan pengajar juga berpikir yang sama. Hal ini bisa kita lihat dengan masih banyaknya orangtua, pengajar, dan siswa yang berkerumun atau tidak menggunakan masker dengan baik dan benar.

Ketidaksiapan pengajar dan orangtua ini, mempengaruhi kemampuan berpikir kritis pada siswa/pelajar.

Jangankan saat pandemi, sebelumnya pun masih banyak siswa yang punya pikiran, ke sekolah hanya ingin bertemu teman.

Pola pikir inilah, yang mengakibatkan kurangnya siswa memaknai hidup lebih bernilai. Identitas diri pun tidak terbentuk. Akibatnya, tidak ada kontrol diri.

Banyak aspek yang bisa mempengaruhi ketidaksiapan mental para siswa. Antara lain keterlambatan orangtua dalam mendidik dan mengarahkan anak. Tidak adanya evaluasi diri di keluarga masing-masing atau keterbukaan.

Masih banyak orangtua yang secara mental belum siap/tahu/belajar menjadi orangtua yang baik. Sehingga mempengaruhi kualitas anak-anak mereka.

Banyak orangtua yang masih menggunakan metode didikan lama, “orangtua selalu benar”. Padahal sudah tidak relevan dengan jaman sekarang. Di mana peran orangtua sering tergantikan oleh teknologi yang lebih menggiurkan.

Hal ini tidak hanya berlaku pada orangtua dengan pendidikan dan ekonomi yang rendah saja, namun, juga dialami oleh orangtua dengan pendidikan tinggi dan ekonomi yang baik.

Di beberapa negara seperti Singapura dan Amerika Serikat, tingkat bunuh diri pada anak cukupmengkhawatirkan. Banyak orangtua yang tidak memperhatikan tanda-tanda depresi atau tekanan hidup pada anak-anak mereka. Mereka baru menyadari ketika semuanya terlambat.

Melihat motivasi sebagian siswa datang ke sekolah untuk mengurangi kejenuhan, lari dari orangtua, bertemu teman, belajar hal-hal baru dll. Bagaimana nasib mereka saat pandemi? Apa efeknya setelah pandemi usai?

Hal inilah yang perlu kita pikirkan bersama. Masalah perkembangan mereka baik secara mental maupun pengetahuan.

Berikut tanda-tanda depresi pada anak yang harus kita perhatikan :

  1. Perubahan pada kebiasaan makan dan tidur dari biasanya.
  2. Membatasi diri secara emosional maupun sosial.
  3. Mudah marah, perubahan suasana hati yang drastis, mudah putus asa.
  4. Perkataan orangtua yang sering kali tidak disadari ketika emosi, yang menyakiti hati dan mengganggu pikiran anak. Misalnya, “Menyusahkan saja!”
  5. Mempertanyakan tujuan hidup mereka.
  6. Ketidaktertarikan pada aktifitas yang biasa dilakukan.
  7. Bertingkah laku aneh, sering melarikan diri/menghindar.
  8. Melakukan aktifitas yang beresiko.
  9. Tidak peduli dengan penampilan.
  10. Terobsesi dengan kematian dan hidup sekarat.
  11. Kurang merespon pujian.

Bila ada tanda-tanda tersebut pada anak anda, ada baiknya segera bertemu dengan ahli kejiwaan/psikolog anak.

Untuk menyikapi masalah kesehatan mental anak, memang dibutuhkan kejujuran dan kesiapan. Karena, bisa jadi yang perlu diperbaiki bukan hanya anak anda, melainkan cara kita sebagai orangtua yang telah salah dalam mendidik dan mengarahkan mereka.

Lalu, bagaimana cara melindungi anak kita bila ada tanda-tanda di atas? Ada beberapa cara yang mungkin bisa diikuti, yaitu:

  1. Melibatkan anak saat anda sedang khawatir atau stres. Sehingga anak sadar bahwa bukan mereka saja yang punya tekanan.
  2. Mendiskusikan kasus perundungan, bunuh diri pada anak.
  3. Lebih banyak menghabiskan waktu yang berkualitas dengan anak.
  4. Membatasi waktu akses internet mereka dan mengawasi telepon masuk, pesan, dan sosial media anak.
  5. Mengurangi konflik dalam keluarga, pastikan anak merasa nyaman dan mulai membuka diri.
  6. Perhatikan sikap dan perasaan anak saat melihat/menanggapi masalah.
  7. Mengenal teman-teman anak dan keluarga mereka.

Bila cara-cara di atas sudah dicoba namun tetap tidak ada perubahan yang berarti, ada baiknya datang berkonsultasi dengan psikolog sebelum terlambat.

Semoga kita mampu memerdekaan generasi muda kita untuk lebih berpikir kritis, beridentitas dan lebih memaknai hidup lebih baik.

Selamat Hari Pendidikan Nasional, Minggu, 02/Mei-2021

Oleh: Imelda Stefanny
Pengamat Pendidikan
-Penulis
-Jurnalis JurnalRealitas.com