Publik Butuh Kerja Nyata BPOM, Bukan Pencitraan
Publik Butuh Kerja Nyata BPOM, Bukan Pencitraan

JurnalRealitas.com, Jakarta – Maraknya aksi penggunaan bahan berbahaya pada makanan yang dilakukan oleh sejumlah pedagang makanan dan minuman nakal kian meresahkan masyarakat. Makanan yang menggunakan zat berbahayaseperti bahan pewarna tekstil dan formalin yang beredar di pasaran ternyata selama initidak mendapatkan perhatian dan penanganan,yang benar-benar serius dari Badan POM.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) malah terkesan tutup mata dan melakukan pembiaran, akibatnya aksi para pedagang nakal dan curang yang setiap harinya berjualan khususnya dilingkungan sekolah dasar. Bukannya berkurang, jumlah pedagang yang melakukan praktek nakal kian hari semakinmerajalela. Parahnya lagi yang menjadikonsumen dan sasarandari aksi para pedagang nakal dan curang adalahkebanyakan di lingkungan Sekolah Dasar (SD).

Faktanya di lapangan, tidak ada upaya atau tindakan yang nyata yang dilakukan oleh BPOM untuk mencegah dan mengurangi adanya peredaran zat berbahaya pada makanan. Padahal seharusnya BPOM lebih giat lagi turun langsung ke lapangan,pro aktif melakukan penyuluhan dan edukasi,mulai dari tingkat kelurahan dan sekolahan. Bila perlu melakukan penyuluhan dan edukasi langsungterhadap para pedagang makanan dan minumanyang berjualan di setiap sekolahan.

Betapa sangat berbahaya bagi kesehatan dan tubuh manusia,apabila zat-zat beracun sepertibahan pewarna tekstil dan formalinsampai dikonsumsi oleh manusia,apalagidikonsumsi oleh anak-anak yang masih Sekolah Dasar (SD) yang notabene tidak mengerti dan masih polos. Oleh karena itu, jika BPOM tidak melakukan langkah-langkah yang bersifat nyata, maka fungsi dan kinerja BPOM perlu dipertanyakan. PantaskahBPOM mendapatkan penghargaan dari Museum Recor Indonesia (Muri), padahal selama ini publik menilai kinerja badan BPOM mandul dan tak berdayadalam mengatasi aksi pedagang nakal, timbul kesan publik yang merasa sangat tidak puas dengan kinerja BPOM, karena kinerja BPOMhanya terlihat dua kali dalam setahun yakni pada saat menjelang bulan puasa dan hari Raya Idul Fitri serta pada saat Natal dan Tahun baru.

Sedangkan untuk hari dan bulan-bulan lainnya BPOM lebih banyak facuum dan hanya makan gaji buta. Apabila hal ini benar adanya, artinya penghargaan yang telah diberikan oleh Muri kepada BPOM adalah suatu kesia-siaan dan tak ada gunanya, karena penghargaan yang telah diberikan oleh Muri kepada BPOM tak ubahnya seperti seremonial dan pencitraan belaka, kosong tanpa makna dan arti laksana pepesan kosong yang tanpa rasa dan aroma, akhirnya berubah menjadi hampa. Sudah saatnya BPOM bekerja, karena publik butuh kerja nyata bukan sekedar pencitaraan semata. (AM)