Mahkota di Kepala Anak-Anak: Panggung, Ambisi, dan Masa Kecil yang Dikorbankan

OPINI – Tulisan ini mengkritisi fenomena pageant dan kompetisi anak yang sering kali lebih menonjolkan ambisi orang dewasa daripada kepentingan terbaik anak itu sendiri. Dengan pengalaman pribadi serta kajian hukum dan psikologi perkembangan anak, artikel ini mengungkap paradoks antara pengembangan bakat dan eksploitasi berpita emas. Kegiatan yang menuntut anak menampilkan citra dewasa berpotensi melanggar prinsip perlindungan anak dan membebani masa kecil mereka. Tulisan ini mengajak masyarakat dan orang tua untuk lebih cerdas memilih ruang tumbuh bagi anak agar berkembang dengan empati dan kebahagiaan sejati.

Kata Kunci: perlindungan anak; pageant anak; eksploitasi anak; perkembangan anak; budaya kompetisi.

Beberapa waktu lalu, seorang anggota kelompok Bundo Kanduang di Sumatera Barat mengirimkan video. Isinya menampilkan terpilihnya seorang Miss Teen di ajang internasional, dengan caption bangga: “Anak Sumbar harumkan nama bangsa di panggung dunia.”

Saya tersenyum tipis. Kalimat itu terdengar manis, penuh kebanggaan. Tapi di balik kata “harumkan nama bangsa”, ada aroma lain yaitu aroma ekspektasi dan ambisi yang dibungkus pita warna emas.

Sebagai seseorang yang pernah menjadi wakil Sumatera Barat dalam ajang Putri Ayu Indonesia 1995, runner-up II Putri Kartini 1995, dan kini menjabat National Director Indonesia Miss, Mrs, Mister & Talent Kids Indonesia 2023–2024, saya tahu dunia itu luar dalam. Panggungnya berkilau, tapi lampunya panas. Sorotannya sering membuat lupa: siapa yang sebenarnya sedang dipamerkan, apakah bakat anak, atau ambisi orang tuanya?

Antara “Bakat” dan “Eksploitasi Berpita Emas”

Banyak lomba anak zaman sekarang dikemas dengan istilah “pengembangan bakat”, tetapi yang ditampilkan justru anak-anak berusia sepuluh tahun yang dirias layaknya orang dewasa. Mereka berjalan di runway, mengenakan gaun pesta dan sepatu hak tinggi, dengan senyum yang dilatih agar “tepat untuk kamera.”

Dalam konteks hukum, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi maupun seksual (Pasal 13 Ayat 1).
Sementara laporan UNICEF (2017), Children in a Digital World, menekankan pentingnya memastikan bahwa partisipasi anak dalam kegiatan publik harus berbasis the best interests of the child bukan kepentingan ekonomi atau pencitraan keluarga.

Fenomena ini bukan hanya persoalan estetika, tapi etika. Di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, kompetisi semacam Toddlers & Tiaras dikritik karena menormalkan riasan dewasa dan tekanan performa terhadap anak-anak (Giroux, 2012).

Panggung Dewasa yang Dihuni Anak-Anak

Saya masih ingat betul suasana di balik panggung ajang kecantikan: ruangan penuh tawa, parfum, kamera, dan kadang, komentar-komentar yang tidak pantas untuk telinga anak-anak.

Itulah sebabnya saya baru mengizinkan putri saya terjun ke dunia modeling profesional setelah berusia 20 tahun, ketika ia matang secara emosional dan hukum. Saat di sekolah dasar, ia hanya mengikuti lomba kebaya dan fashion show kasual sekadar melatih percaya diri tidak lebih.

Karena saya tahu, dunia modeling bukan tempat tumbuh anak-anak. Ia adalah industri. Dan industri, pada dasarnya, mencari produk, bukan pertumbuhan.

Sosiolog Soerjono Soekanto (2005) menulis, masyarakat modern cenderung “mengkomodifikasi individu menjadi simbol status sosial.” Dalam konteks ini, anak-anak yang tampil di panggung sering bukan lagi individu yang berkembang, melainkan simbol “prestise keluarga.”

Di Indonesia, pageant anak juga meningkat signifikan dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan pantauan media dan lembaga budaya, terdapat lebih dari 150 ajang lomba anak berorientasi citra yang diselenggarakan setiap tahun di tingkat daerah dan nasional (Data Kominfo, 2024). Namun, belum ada regulasi spesifik tentang batas usia peserta maupun pengawasan psikologis anak.

“Talent” Itu Luas: Dari Pencak Silat hingga Gitar Klasik

Sebagai National Director Talent Kids Indonesia, saya memahami bahwa talenta bukan sekadar berjalan anggun di atas panggung. Talenta adalah ekspresi diri yang menumbuhkan karakter bukan citra.

Dalam kategori talent, anak-anak bisa menari, menyanyi, membaca puisi, menulis karya sastra, atau berolahraga seperti pencak silat. Semua itu bentuk pendidikan rasa dan koordinasi yang sehat.

Elizabeth Hurlock (2012) menulis bahwa kegiatan seni membantu anak mengembangkan empati dan keseimbangan emosional. Begitu pula Santrock (2020) menekankan pentingnya sense of competence — perasaan mampu yang tumbuh dari pengalaman berhasil, bukan penilaian eksternal.

Sementara dunia modeling profesional tetap memiliki standar fisik dan tekanan tinggi. Meskipun Elite Model Management (2024) telah melonggarkan aturan tinggi badan minimum, peluang tampil di panggung besar hanya sekitar 3% dari ribuan model baru tiap tahun (Business of Fashion, 2021).

Menaruh harapan masa depan anak pada sepasang sepatu hak tinggi adalah perjudian emosional dengan peluang kecil, tapi risiko psikologis besar.

Empati Lebih Penting daripada Runway

Sebagian orang tua mungkin beralasan, “Biar anaknya percaya diri.”
Tentu, kepercayaan diri penting. Tapi cara menumbuhkannya tidak harus lewat sorotan lampu dan tepuk tangan juri.

Rasa percaya diri anak tumbuh dari keberhasilan kecil sehari-hari. Saat ia menolong teman, menyelesaikan gambar, atau memainkan lagu piano. Itulah bentuk self-efficacy yang sejati (Bandura, 1997).

Penelitian American Psychological Association (2018) menunjukkan bahwa anak-anak yang terlalu sering dinilai secara publik cenderung mengalami performance anxiety dan penurunan motivasi intrinsik.

Kegiatan seperti les musik klasik, tari tradisional, menggambar, menjahit, memasak, atau berolahraga jauh lebih bermakna. Dapat menumbuhkan empati, disiplin, dan kebahagiaan alami . Masa kecil yang seharusnya menjadi ruang bermain, bukan gladi resik menuju mahkota.

Satire untuk Kita, Orang Dewasa

Ironinya, ketika orang tua berkata, “Saya ingin anak saya percaya diri di depan umum,” yang sering kali dimaksud adalah “Saya ingin dunia percaya bahwa saya orang tua yang sukses.”

Fenomena ini disebut achievement-by-proxy distortion. Kondisi ketika orang tua memproyeksikan ambisi pribadinya kepada anak (American Bar Association, 2015).
Psikolog Madeline Levine (2008) bahkan menyebutnya sebagai parental narcissism, di mana cinta bersyarat membuat anak menjadi alat pencapaian sosial keluarga.

Anak-anak akhirnya menjadi cermin ambisi orang dewasa. Mereka dirias, dipoles, dan dipamerkan, bukan sebagai ekspresi diri, tapi validasi sosial orang tuanya.

Sebuah mahkota memang indah. Tapi pada kepala anak-anak, ia bisa menjadi beban yang terlalu berat.
Kita sering lupa: anak bukanlah miniatur kita. Mereka bukan proyek pencitraan, melainkan manusia kecil yang sedang belajar menjadi dirinya sendiri.

Penutup: Cerdas Memilih, Bijak Menuntun

Sebagai ibu, mantan finalis, dan pelaku di dunia model dan pageant, saya hanya ingin mengingatkan: berikan ruang bagi anak untuk tumbuh dengan cara yang alami. Dunia seni, musik, tari, olahraga, atau memasak, semua bisa menjadi sarana membangun karakter dan empati.

Runway bukan satu-satunya jalan menuju panggung kehidupan. Terlalu banyak cahaya bisa membuat kita buta, terutama terhadap hal yang paling sederhana: kebahagiaan anak itu sendiri.

Daftar Pustaka

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

UNICEF. (2017). Children in a Digital World. New York: UNICEF Publications.

Hurlock, E. B. (2012). Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.

Soekanto, S. (2005). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

Santrock, J. W. (2020). Life-Span Development. New York: McGraw-Hill Education.

Elite Model Management. (2024). Elite Model Look Application Guidelines. Paris.

Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H. Freeman.

Giroux, H. (2012). Children’s Beauty Pageants and the Commodification of Childhood. Cultural Studies Review.

Levine, M. (2008). The Price of Privilege. New York: HarperCollins.

American Psychological Association. (2018). Stress and Performance in Childhood Competitions. APA Report.

American Bar Association. (2015). Achievement by Proxy Distortion: Ethical Implications in Child Pageants.

Kominfo RI. (2024). Laporan Tren Budaya Anak dan Media Sosial 2024. Jakarta: Kemenkominfo.

Business of Fashion. (2021). The Modeling Industry in Numbers.

Catatan Akhir

Anak-anak tak butuh mahkota untuk bersinar.
Cukup biarkan mereka tumbuh karena cahaya masa kecil lebih tulus daripada sorot lampu panggung mana pun.

Novita sari yahya
Penulis, peneliti dan national director Indonesia miss, mrs, mister dan talent kids 2023-2024.

BAGIKAN :

Jangan Lewatkan

Seruan Keadilan dari Nusantara: Ketua Umum PDKN Apresiasi Pidato Wilson Lalengke di PBB

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *