Kasus Jiwasraya Menyeret WanaArtha Life: Apa Kabar OJK? Nasabah Dikorbankan Lagi?

JURNALREALITAS.COM, OPINI – Terpampang jelas di laman resmi OJK: “Mengatur, Mengawasi, Melindungi – Untuk Industri Keuangan yang Sehat.”

Kalau ada prahara di industri asuransi misalnya, maka seyogianya fokus penyelamatan adalah kepentingan para nasabah. Mereka yang setia membayar premi, mereka bukan koruptornya, mereka yang tidak bersalah apa-apa.

Belum kelar soal tuntutan para nasabah Jiwasraya, Asabri dan Bumiputera, muncul lagi korban turunan dari kasus Jiwasraya. Kali ini yang lagi ribut adalah para nasabah WanaArtha Life. Mengapa mereka sampai ribut?

Sederhana saja, bagi para nasabah asuransi ya lantaran tidak dibayar segala klaim yang dulu dijanjikan dalam akad asuransinya. Gagal bayarlah istilahnya.

WanaArtha Life, adalah sebuah perusahaan asuransi Swasta yang dimiliki oleh PT Fadent Consolidated Companies (97,2%) sebagai pemegang saham pengendali. Dan ada Yayasan Sarana Wanajaya (2,8%). Yayasan ini bernaung di bawah Depertemen Kehutanan Republik Indonesia.

Sedangkan PT Fadent Consolidated Companies itu sendiri adalah Badan Usaha Milik Swasta yang didirikan oleh Mohammad Fadil Abdullah (almarhum) yang sekarang diwarisi dan dipimpin oleh puteri sulungnya Evelina Fadil Pietruschka sebagai CEO (PresDir) serta Manfred Armin Pietruschka sebagai Chairman (PresKom).

Sedangkan di PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha, atau yang lebih dikenal sebagai WanaArtha Life ini Evelina bertindak sebagai Preskom. Ia bersama Ir. Soebagjo Hadisepoetro (mantan petinggi Kemenhut) dan Dr. Sugiharto, SE., MBA (mantan Menteri BUMN) ada di jajaran Dewan Komisaris.

Dewan Direksinya diisi oleh Yanes Matulatuwa sebagai Presdir, dan Daniel Halim sebagai Direktur. Keduanya profesional yang sudah banyak makan asam garam di bidang asuransi dan keuangan.

WanaArtha Life ini sudah cukup lama malang melintang di dunia asuransi, berdiri sejak tahun 1974 berarti mereka telah hampir setengah abad (47 tahun) melayani masyarakat Indonesia.

Lalu mengapa prahara Jiwasraya bisa menular ke WanaArtha Life? Serta apa saja sih yang selama ini dikerjakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)?

Padahal kita semua mahfum bahwa selama ini OJK-lah institusi negara yang berwenang serta berkewajiban mengawasi industri keuangan nasional.

Bukankah OJK itu dibentuk memang dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan bisa terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel?

Juga agar mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat?

Sehingga dengan demikian OJK punya fungsi dan tugas untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan: perbankan, pasar modal, dan sektor IKNB (Industri Keuangan Non Bank).

Lalu kenapa kasus seperti WanaArtha Life bisa terjadi? Coba kita telusuri sejenak jejaknya.

Dalam catatan Warta Ekonomi didapat keterangan, bahwa pada 21 Januari 2020 lalu, WanaArtha Life menerima informasi secara informal mengenai perintah pemblokiran rekening mereka. Maka manajemen WanaArtha Life pun melakukan klarifikasi kepada KSEI dan OJK. Kenapa rekening mereka diblokir?

Lantaran rekeningnya diblokir, WanaArtha Life pun tak bisa memenuhi kewajibannya terhadap para nasabahnya. Lalu jadi kisruh dan ramai, nasabah pun protes dan masalahnya naik ke panggung publik.

Presdir Yanes Matulatuwa menjelaskan, “Berdasarkan hasil klarifikasi dari Kejaksaan Agung, kami mendapat konfirmasi benar bahwa rekening efek perusahaan dikenakan perintah pemblokiran terkait dengan penanganan suatu kasus hukum yang sedang dalam proses Kejagung.” Dan itu terkait kasus hukum Jiwasraya. Bagaimana kaitannya antara Jiwasraya dengan WanaArtha Life?

Rupanya, secara ringkas, manajemen WanaArtha Life ada ikut melakukan investasi di beberapa portofolio saham yang terkait dengan Benny Tjokro (tersangka utama kasus Jiwasraya).

Menurut versi Kejaksaan Agung, manajemen WanaArtha Life terkait dalam permainan saham bodong di PT Asuransi Jiwasraya.

Konsekuensinya, demi proses penegakan hukum, dilakukan pemblokiran terhadap 800 rekening, termasuk milik para nasabah WanaArtha Life.

Lagi pula menurut Kejaksaan Agung, WanaArtha Life tak bisa lari dari tanggung jawab dalam klaim asuransi yang macet sejak Februari 2020 lalu.

Menurut Hari Setiyono (Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung) ada ditemukan bukti-bukti transaksi yang tak terbantahkan bahwa pada 11 Feb 2016 WanaArtha Life ikut dalam permainan saham MYRX (milik tersangka utama Benny Tjokro). Juga ada transaksi saham RIMO, BJBR, dan LCGP yang semuanya milik group Benny Tjokro.

Ada pula bukti aliran dana dari WanaArtha Life kepada tersangka Benny Tjokro tertanggal 26 Mei 2016 dan 7 Juni 2016. Masing-masing di kisaran Rp 175 juta dan Rp 69 juta.

Akibatnya, Daniel Halim, Direktur Keuangan WanaArtha Life pun ikut diperiksa Kejagung selama dua hari berturut-turut, pada 29 dan 30 Januari 2020.

Lalu berlanjut pada 11 Maret 2020 dilakukan pemeriksaan terhadap 24 saksi, termasuk 6 orang dari WanaArtha Life yaitu Tjomo Tjengundoro Tjeng, Febiotesti Valentino, Kernail, Jenifer Handayani, Denny Suriadinata, Tommy Iskandar Widjaja, dan Daniel Halim.

Lalu bagaimana cerita menurut versi manajemen WanaArtha Life sendiri?

Kabarnya rekening sudah tidak diblokir, namun dananya masih dalam status sita oleh OJK.

Menurut PresDir WanaArtha Life, Yanes Y. Matulatuwa, pihaknya berkomitmen menindaklanjuti permasalahan tersebut dan akan segera membayar kewajiban kepada pemegang polis secara bertahap serta menjamin bahwa seluruh manfaat polis yang merupakan hak pemegang polis yang ada di perusahaan dalam keadaaan aman.

WanaArtha Life pun sempat mem-praperadilankan status pemblokiran dan penyitaan dana di rekening mereka. Namun ditolak (digugurkan) oleh pengadilan dengan alasan bahwa pengguguran tersebut adalah untuk menghindari keputusan pengadilan yang tumpang tindih, di mana saat itu sidang Tipikor kasus korupsi Jiwasraya telah dimulai sejak 3 Juni 2020.

Kuasa hukum WanaArtha Life, Erick S. Paat, balik berargumentasi bahwa ada kesewenangan yang dilakukan Kejagung dalam proses pembekuan rekening efek walau pada saat itu surat perintah penyitaan yang belum keluar.

Singkatnya, menurut Erick Paat, kasus kliennya tidak ada sangkut pautnya dengan Sidang Tipikor Jiwasraya, lantara kliennya (WanaArtha Life) bukanlah berstatus tersangka.

Sampai saat ini kasusnya masing berjalan (baca: terkatung). Dan seperti biasa, korbannya adalah para nasabah.

Akhirnya para nasabah membentuk Forum Nasabah WanaArtha (Forsawa). Dan para anggota forum inilah yang akhirnya berteriak kesana-kemari. Seolah mereka yang jadi bumper (sekaligus korban) untuk dibenturkan ke OJK, dibenturkan ke Kejaksaan (pengadilan) dan sekaligus jadi semacam humas ke publik.

Kasihan sekali sebetulnya. Sudah jadi korban, dan akhirnya dijadikan bumper pula.

Dari perspektif nasabah (dan ini yang juga seyogianya jadi fokus OJK serta manajemen WanaArtha Life), seyogianya klaim mereka (para nasabah) inilah yang mesti diutamakan.

Bayarlah klaim mereka terlebih dahulu. Entah manajemen (sebagai penanggungjawab operasional perusahaan) mau mengusahakan dana talangan dari mana pun. Entah dari dana pribadi pemegang saham kek, ataupun dari pihak ketiga lainnya. Yang penting jaga kredibilitas di mata nasabah.

Sementara itu OJK, iya OJK yang selama ini sudah lebih dulu meng-klaim dirinya sebagai regulator (pengatur rambu) di bisnis keuangan, pengawas jalannya operasi bisnis keuangan nasional dan sebagai pelindung konsumen bisnis keuangan nasional juga mesti ikut bertanggungjawab.

Bagaimana tanggungjawab OJK dalam hal ini?

Sederhana, segera perintah bayar kepada manajemen WanaArtha Life untuk membayar klaim nasabahnya! Dan mata OJK mesti lebih melotot lagi untuk mengawasi tingkah laku manajemen demi melindungi konsumen.

Seperti slogan yang terpampang jelas di laman resmi OJK: “Mengatur, Mengawasi, Melindungi – Untuk Industri Keuangan yang Sehat.”

Bagaimana manajemen WanaArtha Life mendapatkan dananya? Itu urusan manajemen (direksi serta komisaris) WanaArtha Life!

Yang jelas, konsumen (nasabah) bukanlah bumper yang bisa dibenturkan kesana-kemari seperti permainan boom-boom-car di Dunia Fantasi.

Jakarta, 12-04-2021

Oleh : Andre Vincent Wenas
-Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).