Menempa Hidup Sebagai Kebangkitan

JURNALREALITAS.COM, OPINI – Seperti membuat keris dan pedang, selain butuh logam yang baik, perlu proses tempaan yang cukup panjang dan lama. Mulai dari peleburan, pencetakan, penempaan, pembentukan, pendinginan, pemanasan, kembali ditempa, dan terus berulang. Hingga memperoleh bentuk, ketajaman, keunikan yang diinginkan. Lalu diasah, diwarnai, diberi nama dan dibuatkan sarung.

Begitu pula dengan hidup manusia. Perlu tempaan yang berulang-ulang, hingga akhirnya menjadi manusia yang anggun dan berguna bagi banyak orang. Tambah sering kita mendapat tempaan, tambah kita menjadi baik.

Oleh sebab itu, orang baik selalu mendapat banyak hal buruk atau tidak menyenangkan.

Bisa dibilang, semua orang yang sukses dan menjadi tokoh dunia, adalah orang-orang yang dulu tidak mudah menjalani hidupnya. Orang yang dulunya ditolak, dihina, direndahkan, dan tidak dianggap.

Namun, hal itulah yang mengantar mereka pada kesuksesan, yang dicatat sejarah. Bukan hanya secara finansial, namun juga secara spiritual. Hal ini bisa dibuktikan dengan membaca biografi hidup mereka.

Setiap tempaan lewat cobaan hidup, sesungguhnya, mengantarkan kita pada kebaikan. Sehingga hidup kita seharusnya tambah bernilai dan bermakna. Meski, sering juga tempaan membawa kita pada kegagalan, bahkan terjerumus dalam kepahitan.

Kuncinya cuma satu, bangkit kembali. Jangan berlama-lama berada di kegelapan. Berada di kegelapan, seharusnya, memudahkan kita, dalam mencari cahaya. Yang mengantar kita untuk bangkit dan keluar. Karena cahaya hanya bisa terlihat jelas, bila dalam kegelapan.

Untuk menjadi seorang yang bernilai, kita perlu berbeda dari kebanyakan orang. Meski mungkin akan sering ditertawakan dan dianggap aneh, awalnya.

Jack Ma, Steve Jobs dan masih banyak lagi penemu di dunia ini, yang dulunya diremehkan, lantaran pemikiran/pandangan mereka yang berbeda dari kebanyakan orang di masanya. Termasuk Albert Einstein, Isaac Newton, hingga Thomas A. Edison.

Bahkan, banyak penemu yang dihukum, lantaran penemuannya dianggap bertentangan dengan agama dan kultur di lingkungannya, pada masa lalu. Hingga tak jarang mereka dianggap penyihir atau ilmu sesat.

Kreatifitas selalu mengundang reaksi. Yang pada awalnya dianggap aneh, lama kelamaan malah jadi tren.

Oleh sebab itu, orang baik itu selalu orang yang kreatif, berbeda dan punya tujuan hidup.

Kendala terbesar bagi yang mau menjadi baik itu adalah sering dikucilkan. Sehingga potensi untuk menjadi baik, sering kali terkalahkan oleh opini lingkungan.

Opini lingkungan itu merupakan tempaan terbesar. Banyak orang yang menghindari tempaan itu dan mencari cara aman. Meski, seharusnya, tidak membuatnya nyaman.

Sementara, buat mereka yang mengabaikan opini, akan semakin terbentuk. Dan tujuan hidupnya pun semakin jelas.

Tak jarang tempaan terbesar justru didapat dari orang terdekat. Seperti ucapan banyak orangtua yang sering meragukan/mengecilkan kemampuan anaknya. “Kamu bisa tidak? Kalau gagal, nanti bagaimana? Yakin berhasil?” Sehingga, kata-kata ini seringkali menggagalkan anak mencapai kesuksesan dan kemandirian.

Lalu, bagaimana kita tahu tujuan hidup kita. Bila kita terlalu mendengarkan kata orang, takut mencoba, takut gagal/sukses. takut berbeda, takut ditinggalkan, dll.

Menjadi pribadi yang baik itu memang butuh tempaan yang berat alias menderita. Oleh sebab itu, sulit menemukan orang baik. Karena menjadi baik, berarti harus tahan banting.

Namun, setelah menjadi baik, maka kita akan mampu memimpin dan mengarahkan orang lain pada kebaikan. Contoh saja para nabi, yang menjadi acuan/pedoman umatnya, dalam bersikap dan menjalankan hidup.

Tidak ada jalan pintas untuk menjadi pribadi yang baik. Dibutuhkan keikhlasan dan kekuatan mental, dalam melewati semua tempaan hidup. Seberapa lama, berat dan besar, menentukan untuk apa kita hidup.

Seperti yang dikatakan Friedrich Nietszche, “Hidup adalah penderitaan, bertahan hidup berarti menemukan makna dari penderitaan.”

Oleh: Imelda Stefanny
Pemerhati Pendidikan Sosial dan Budaya
-Jurnalis JurnalRealitas.com