Perubahan Wajah Pendidikan Indonesia Setelah Pandemi (Bagian I)
Imelda Stefanny

JURNALREALITAS.COM, OPINI – Pada pembahasan sebelumnya, kita sudah membahas soal biaya pendidikan yang tinggi, kualitas tenaga pengajar, dan kualitas orang tua peserta didik.

Pada bagian ini, kita akan membahas tentang kualitas kurikulum dan siswa. Mengapa demikian?

Karena mereka punya peranan sangat penting pada kelangsungan masa depan bangsa. Selain itu, pendidikan harus meningkatkan rasa kepercayaan diri dan mampu meningkatkan taraf hidup bangsa.

Hingga saat ini, mengapa negara kita lebih banyak menyetak tenaga buruh ketimbang tingkat manajerial? Salah satunya adalah peran kurikulum sekolah.

Sebagian besar kurikulum sekolah dasar tidak terpakai di kehidupan nyata. Bahkan, hingga sekolah menengah atas, nyaris tidak ada perubahan dari masa ke masa. Sehingga seorang nenek pun masih mampu membimbing cucunya yang di SD untuk belajar. Hal ini perlu kita akui.

Bila kita yang berada di perkotaan saja merasa ilmu yang kita dapat tidak relevan, maka, tak aneh bila mereka yang hidup di pedesaan dengan ekonomi pas-pasan, bahkan minim, memilih memutuskan pendidikan anak-anak mereka. Selain berat dengan ongkos, buku, perlengkapan sekolah, ilmu yang diterima pun tidak seimbang dengan harapan mereka. Sementara, biaya pendidikan berlomba dengan waktu.

Mereka (orang tua peserta didik dan siswa) mengharapkan mendapat ilmu yang bisa meningkatkan standar ekonomi & sosial budaya keluarga mereka dengan lebih cepat.

Mungkin bila kurikulum kita bisa mengikuti kebutuhan ekonomi- sosial- budaya di daerah tersebut, semangat orangtua untuk terus menyekolahkan anak-anak mereka akan tinggi.

Misalnya saja, mereka yang tinggal di pedesaan yang mayoritas pekerjaan orangtuanya petani. Selain mereka harus mampu membaca, menulis, dan berhitung, mereka juga punya kurikulum yang berbeda dengan mereka yang berada di daerah lain. Seperti: mengenal bibit unggul dan bibit tidak unggul, jenis media tanam, mengolah tanah gambut, eko-enzim, mengolah sampah mandiri, membuat pupuk kandang, pengetahuan pengairan sawah & kebun, memasarkan panen, membuat surat perjanjian, mengenal distributor, mengelola keuangan, pengetahuan advokasi, pengetahuan bencana alam, pengetahuan UKM, pengajuan dana, dll. Yang notabene berhubungan dengan pekerjaan orangtua mereka.

Hal ini tentu akan membangkitkan perekonomian orangtua mereka, status sosial, dan menambah kecintaan mereka pada kampung halaman mereka. Selain itu, bisa mengurangi angka pengangguran, putus sekolah, kriminalitas di daerah tersebut. Juga mengurangi efek bencana alam, pertolongan pertama, dst. Otomatis, kemandirian dan perekonomian di daerah tersebut juga akan meningkat.

Tanpa disadari, masalah perpindahan dari desa ke kota pun, teratasi. Masalah penjualan manusia (human trafficking), perundungan, dan lain-lain, ikut teratasi.

Tentu saja, peserta didik bisa dibuat lebih fleksibel. Artinya, tidak mesti dimulai dari umur 7 tahun. Terlambat belajar pun tak jadi soal. Dan waktu belajarnya tidak mesti 12 tahun, namun bisa lebih singkat. Mereka pun mendapat ijasah yang bisa diteruskan ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi.

Demikian juga dengan kurikulum di perkotaan, pantai, tempat pariwisata, daerah kerajinan tangan, tempat tradisi yang masih mempertahankan adat nenek moyang, dll. Kurikulum harus diubah berdasarkan ekonomi, sosial dan budaya setempat.

Karena salah satu kendala pemerataan pendidikan di Indonesia, adalah letak geografis dan tingkat kesulitan akses ke lokasi yang berbeda-beda, dengan jumlah penduduk yang bervariasi juga.

Keikutsertaan pihak swasta sangat diperlukan. Karena dunia kerja/bisnis lah yang sebenarnya paling paham dengan SDM yang diperlukan/diharapkan.

Sehingga sekolah bisa tepat sasaran, lebih efektif dan efisien bagi masyarakat setempat.

Kedengarannya mudah, bukan? Jadi untuk apa dipersulit. Bila dengan cara seperti ini, bangsa kita bisa mengurangi angka buta huruf dan putus sekolah.

Dana pendidikan pun bisa betul-betul tepat sasaran, efektif dan efisien.

Saya akan mengutip kalimat bijak dari seorang aktifis asal Irlandia, George Bernard Shaw,

“Kemajuan tidak mungkin tercapai tanpa perubahan. Dan mereka yang tidak dapat berubah pikiran, tidak dapat mengubah apapun.”

Semoga dengan perubahan, kita tidak lagi dikenal sebagai negara pencetak buruh. Melainkan, negara pencetak manusia yang berkualitas dan bermartabat. Semoga ini bukan angan saya semata, namun impian seluruh masyarakat Indonesia.

Oleh: Imelda Stefanny
Pemerhati Pendidikan
-Jurnalis Jurnalrealitas.com