JURNALREALITAS.COM, OPINI – Sering kita melihat banyak orangtua yang kesulitan, saat anak mereka merengek, minta sesuatu di tempat umum. Tak jarang orangtua yang membentak/ memarahi anaknya di depan orang lain. Lalu, apa efeknya bagi si anak di kemudian hari?
Mungkin hal ini tidak terpikirkan oleh kebanyakan orangtua. Bahwa, mendisiplinkan anak dengan menegur, menasehati, memarahi, membentak di depan umum adalah tindakan yang memalukan anak dan orangtua itu sendiri. Di situlah awal dari terkikisnya budaya malu.
Tambah sering kita melakukan ini di tempat umum, tambah anak tidak memahami budaya malu, bahkan menghargai kita sebagai orangtua.
Oleh sebab itu, tak jarang kita mendengar bentakan atau perlawanan balik dari anak. Yang berimbas pada amarah orangtua yang merasa harga dirinya diinjak-injak anak atau dipermalukan di depan umum. Meski yang mengawali atau memberi contoh lebih dulu adalah orangtua.
Bukan itu saja, lebih parah lagi, menghukum mereka di tempat umum jadi “seolah” hal yang membanggakan, karena bisa mendisiplinkan anak.
Tentu saja sikap itu salah. Meski menghukum itu penting, namun sikap mendisiplinkan anak bukan di tempat umum. Melainkan di tempat privasi. Dengan pengertian dan bahasa yang lembut. Sehingga tidak perlu didengar tetangga, bahkan siapapun yang ada di sekitar.
Hal ini akan membuat harga diri anak tidak terinjak, dan membuat anak menjadi lebih menghormati orangtua mereka. Dampaknya, anak menjadi lebih menghargai perkataan orangtuanya dan bersikap lebih terbuka ke depannya.
Kita sering lupa, bahwa mereka akan dewasa kelak. Dan dunia akan terbalik, bukan lagi mereka yang membutuhkan kita, melainkan kita yang membutuhkan mereka.
Apakah kita siap mendengarkan mereka seperti dulu mereka harus mendengarkan kita karena masih membutuhkan perlindungan kita?
Lalu, bagaimana bila hal itu sudah sering terjadi? Bahkan dari anak masih kecil? Mungkin yang harus diubah adalah sikap dan perilaku orangtuanya terlebih dahulu.
Dengan lebih sering berdiskusi dan terbuka. Meminta anak untuk lebih memikirkan orang lain yang akan merasa terganggu, sebelum mereka merengek atau berperilaku kurang pantas.
Sering kita melihat di sekitar kita, orangtua yang membiarkan anaknya bermain bersama anak-anak lain. Namun, sebagian besar orangtua tidak melatih anak mereka untuk lebih memikirkan orang lain sebelum mereka mengenal teman atau bersosialisasi.
Hal ini menjadi penting, sehingga anak tanpa disadari juga belajar sopan santun dan menghargai hak orang lain. Sehingga mereka terbiasa untuk tidak egois atau menang sendiri.
Bila banyak orangtua yang mengoreksi kebiasaan ini, sepertinya kita punya harapan menciptakan generasi-generasi yang berhati mulia, peduli dan tidak korup.
Tanpa kesadaran dan gerakan bersama, negara ini akan terus menerus menciptakan generasi yang salah dalam memahami masalah moril. Apalagi sejak kecil sudah banyak tayangan-tayangan yang tidak membangun moral anak. Mulai dari kasus kriminal, korupsi, perceraian, sengketa keluarga, perebutan warisan dll.
Seperti kata Bunda Teresa dari Kalkuta, “Jika ingin merubah dunia, pulanglah dan cintai keluargamu.”
Bagaimana cara mencintai keluarga? Biasakan untuk memikirkan orang lain sebelum bicara atau bertindak. Jadikan itu kebiasaan dalam keluarga. Sehingga satu sama lain saling memperhatikan, peduli dan menghargai. Bila di rumah mereka sudah terbiasa, di luar pun mereka akan terbiasa. Dan akhirnya, memudahkan masa depan anak itu sendiri.
Tidak ada lagi postingan ejekan, hinaan yang viral dari anak-anak yang masih dalam masa pendidikan. Atau video perundungan, persekusi, korupsi, dll. Karena terbiasa memikirkan orang lain sebelum bicara dan bertindak.
Oleh: Imelda Stefanny
-Pengamat Pendidikan dan Sosial Budaya
-Jurnalis JurnalRealitas.com
Komentar