OPINI – Angin pagi menyisir pelan pucuk-pucuk bendera di halaman sebuah Polsek kecil di pelosok Kalimantan. Seragam lusuh tergantung di jemuran belakang, kering oleh matahari dan debu. Seorang brigadir muda dengan sepatu yang tak lagi mengilap dan pistol yang lebih sering diam dalam sarungnya sedang membetulkan tali sepatu. Tak ada wartawan. Tak ada sorotan kamera. Tapi setiap hari, ia berjaga. Menyapa warga. Mencatat laporan kehilangan ayam. Mempertemukan warga yang berselisih soal batas tanah. Atau sekadar membantu anak-anak menyeberang jalan.
Inilah wajah Polri yang jarang diberitakan. Wajah-wajah tak dikenal di pulau-pulau terluar, di kampung-kampung adat, di persimpangan jalan yang tak terjangkau sinyal. Mereka bukan headline, tapi merekalah pondasi. Mereka adalah alasan mengapa bangsa ini tetap berdetak dalam kesibukan hari-hari biasa. Namun justru mereka pula yang paling sering tersisih dari percakapan besar soal reformasi, evaluasi, bahkan harapan.
Kini, di tahun yang bergelombang oleh transisi kekuasaan, kita sampai pada satu simpul penting: siapa yang akan menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berikutnya? Pertanyaan ini bukan sekadar tentang siapa yang akan duduk di puncak komando. Ini tentang arah. Tentang cara pandang terhadap kekuasaan yang tidak lagi menjulang dari atas, tapi menapak sampai ke desa-desa yang namanya bahkan tak tertera di peta Google.
Beberapa nama yang muncul adalah Komjen Wahyu Hadiningrat, Komjen Rudy Heriyanto, Komjen Marthinus Hukom, Irjen Rudi Darmoko, dan Irjen Suyudi Ario Seto. Namun, kita tak sedang mencari siapa yang paling kuat, melainkan siapa yang paling mampu menguatkan. Bukan yang paling bersinar di pusat, tapi yang paling mampu menyalakan cahaya di pinggiran.
Ke depan, tugas seorang Kapolri bukan hanya mengatur rotasi pejabat dan lalu lintas kekuasaan. Ia harus menertibkan harapan yang retak, mengangkat kembali moral yang patah. Membersihkan nama ribuan anggota yang jujur tapi tenggelam dalam bayang-bayang stigma buruk. Ia harus menggantikan logika lama yang menjadikan Polri alat kekuasaan dengan visi baru: Polri sebagai pelayan utama masyarakat. Bukan dengan jargon, tapi dengan kerja nyata. Bukan dengan popularitas, tapi dengan kehadiran yang senyap namun berdampak.
Sungguh, bila kita benar-benar mendengar bisikan sunyi dari kantor-kantor polisi kecil di lembah dan pesisir, kita akan tahu: polisi yang baik sedang menunggu seorang pemimpin yang berpihak kepada mereka. Yang tak hanya hadir dalam konferensi pers, tapi juga menapaki pos-pos terpencil tanpa perlu disambut kamera. Yang mengerti bahwa kepercayaan publik tidak dibangun lewat razia sesaat, melainkan melalui polisi yang kembali dihormati oleh tetangganya sendiri.
Kelak bila sejarah menuliskan satu nama, semoga ia adalah sosok yang dipilih oleh mata hati, bukan sekadar oleh perhitungan politik. Semoga ia datang membawa tongkat, bukan untuk menggertak, melainkan untuk menuntun. Dan semoga, untuk pertama kalinya setelah sekian kali berganti, kita bisa berkata: ini bukan sekadar pergantian Kapolri. Ini adalah awal dari Indonesia yang kembali mempercayai polisinya.
Sebab seragam coklat itu bukan sekadar pakaian dinas. Ia adalah sumpah yang dijahit dengan air mata ibu pertiwi dan harapan rakyat yang paling sunyi. Ia adalah janji yang seharusnya tak lekang oleh masa janji untuk melindungi mereka yang tak bersuara, menyatukan mereka yang berselisih, dan berdiri di tengah rakyat bukan sebagai penguasa, melainkan pelayan. Di tengah malam-malam panjang bangsa ini, yang masih menyimpan duka dan ketidakadilan, ada sejuta doa yang menggantung pada pundak mereka yang berseragam coklat. Doa agar polisi tak lagi menjadi bayang-bayang ketakutan, tapi lentera yang menerangi jalan keadilan.
Semoga kali ini, doa itu tak jatuh sia-sia.
Oleh: Arvindo Noviar
–Ketua Umum Partai Rakyat
Komentar