Menziarahi Bung Karno, Berdoa dan Menebar Kembang di Atas Pusara Makamnya, Batu Hitam Pantai Selatan dan Nagasari Lampung, Catatan Perjalanan (5)

CIREBONRAYA – Ada kisah yang tak kalah menarik dari Makam Bung Karno di Bondogerit, Sananwetan di Jalan Ir Soekarno di Kota Blitar, Jawa Timur.

Jika kita berziarah, terdapat batu hitam yang berada diatas pusaran makam tempat istrahat secara abadi Sang Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia. Batu hitam, tepatnya jenis batu pualam berwarna hitam. Ukurannya cukup besar, diameter sekitar ‘sedepa’ (bentangan kedua tangan) orang dewasa atau sekitar satu meter lebih.

Diletakan di atas batu nisan dari pusara Makam Bung Karno. Bertuliskan relief yang menunjukan bahwa di tempat ini, Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan, Presiden RI pertama, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Putra Sang Fajar, Bung Besar dan seabreg julukan kehormatan lainnya, dimakamkan, sejak wafatnya pada 21 Juni 1970.

“Di Sini dimakamkan Bung Karno
Proklamator Kemerdekaan dan Presiden Pertama Republik Indonesia Lahir 6 Juni 1901, Wafat 21 Juni 1970 Penyambung Lidah Rakyat”

Demikian, di atas batu hitam itu tertuliskan ‘tetenger’ (penanda) Makam Bung Karno selaku Proklamator Kemerdekaaan dan Presiden Pertama Republik Indonesia, lengkap dengan tanggal kelahiran dan kematiannya.

Frasa “Penyambung Lidah Rakyat”, menjadi penegas sosok yang sangat dihormati dan berperan penting dalam sejarah modern Indonesia. Soekarno atau Bung Karno, adalah penyambung dari suara-suara rakyat Indonesia yang mendambakan kemerdekaan, kemanusiaan, keadilan dan kemakmuran.

Siswono Yudho Husodo (Pak Sis), sang arsitek pemugaran dan pembangunan mausoleum Makam Bung Karno, mengungkapkan sejarah dari batu hitam tersebut.

Pak Sis mengungkapkan, batu hitam ini bagian dari memenuhi amanat atau pesan Bung Karno semasa hidupnya saat berbicara soal makam bagi dirinya kelak jika meninggal dunia.

“Batu hitam itu bagian dari upaya kita memenuhi wasiat Bung Karno,” tutur Pak Sis mengenang masa mudanya ketika di tahun 70an dipercaya menjadi arsitek pemugaran dan pembangunan mausoleum Makam Bung Karno.

Saat masih hidup dan berjaya sebagai Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno pernah mengungkapkan wasiat soal kematiannya dan bagaimana dirinya harus dimakamkan.

Bahkan kalimat “Penyambung Lidah Rakyat”, juga salah satu dari wasiat Bung Karno terhadap kematiannya. Ia tidak saja menegaskan sosok pejuang yang membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan, tetapi juga perjuangan akan keadilan dan kemakmuran.

“Penyambung Lidah Rakyat” menjadi sebuah satu deret kalimat yang kemudian, setelah wafatnya Bung Karno, menjadi semacam epitaf (epitaph) atau larik puisi kematian.
Bahkan hingga kematianyapun, Bung Karno memilih epitaph yang heroik, sebagaimana karakter Bung Besar yang sepanjang hidupnya dipenuhi spirit heroisme (kepahlawanan) terutama untuk memperjuangkan nasib rakyat dan bangsa Indonesia.

Heroisme (patriotisme), adalah sebuah ‘kemewahan’ pada sosok Soekarno. Bukan gelar-gelar gigantic yang mempertontonkan kebesaran. Bung Karno, hingga wafatnya, tak ingin ada kemewahan apapun, kecuali kesederhanaan dan kerendahhatian yang melingkari pusaranya.
Maka jika kita berziarah ke Makam Bung Karno, semua seperti tampak bersahaja. Batu nisan, pendopo setinggi 15 meter yang terbuka, lantai marmer warna putih dengan pusara yang tampak sederhana.

Kesederhanaan dan kebersajahaan inilah yang membuat siapapun yang datang untuk berziarah, merasakan suasana yang adem, tenang, sejuk dan nyaman di dalam pendopo sebagai tempat bersemayamnya Bung Karno bersama makam kedua orang tuanya.

Rombongan PA GmnI yang berziarah pada Jumat malam 24 Oktober 2025 atau Sabtu Kliwon merasakan nuansa tersebut. Lantai yang terasa sejuk, suasana yang tenang dan nyaman, namun merasakan getaran-getaran energi dari sosok Bung Karno.
“Batu hitam dengan ukuran sebesar ini tidak gampang kita mencarinya saat itu,” tutur Pak Sis mengenang saat dirinya memugar Makam Bung Karno.
Marmer dari Tulungagung, kabupaten tetangga sebelah barat Blitar yang menjadi sentra produksi kerajinan batu marmer, cenderung berwarna putih.

“Kita kemudian mencari ke daerah lain. Itu membutuhkan waktu. Sesuai wasiat Bung Karno soal keinginan di atas nisan makamnya ada batu hitam,” tutur Pak Sis.

Sampai kemudian diperoleh keberadaan bongkahan batu hitam (batu pualam warna hitam) di pesisir pantai selatan Jawa.

Belakangan, batu hitam itu diperoleh dari sebuah desa terpencil di pesisir selatan yang menghadap langsung ke Samudra Hindia.

Desa terebut bernama Panggul, masuk wilayah pesisir selatan Kabupaten Trenggalek, juga sebelah barat Blitar setelah Tulungagung.

“Batu itu kita temukan di tepi pantai yang menghadap langsung Samudra Hindia,” ujar Pak Sis.

Sebagaimana karakter pantai selatan, selain pasir, juga terdapat batuan atau karang. Di Trenggalek, berbeda dengan Tulungagung, batu pualam atau marmernya cenderung banyak yang berwarna hitam.

Pak Sis menceritakan, batu itu terletak di tepi pantai karang. Setiap saat menahan gempuran ombak dan gelombang besar Samudra Hindia.
Relik atau lekukan-lekukan natural yang ada pada permukaan batu hitam itu dibentuk secara alamiah oleh gempuran gelombang Samudra Hindia selama berabad-abad.

Batu hitam ini bertahan selama ratusan tahun, sampai kemudian diketemukan. Sebagaimana wasit Bung Karno, batu hitam ini kemudian berpindah dari tempat yang keras di pesisir pantai dengan gempuran dan deburan gelombang ke tempat lebih tenang dan damai.
Kini batu hitam itu ada bersama Bung Karno. Sama-sama beristirahat dalam tenang dan damai, dalam alam keabadian.

Wasiat, mempertemukan keduanya. Menambah aura sakral dan memancarkan energi magis, kepada siapapun yang datang untuk ziarah di Makam Bung Karno.
Kepada rombongan PA GmnI, serta para akifis muda GmnI Kota Blitar yang berkumpul di Paseban Agung, Pak Sis juga menceritakan bagaimana sulitnya memindahkan bongkahan batu hitam dengan diameter satu meter lebih itu dari pantai selatan Jawa ke Blitar.

“Beratnya mencapai 9 ton,” tutur Pak Sis.

Adalah pekerjaan yang tidak mudah memindahkan bongkahan batu hitam tersebut ke Blitar yang menempuh jarak lebih dari 80 kilometer, melewati medan yang di tahun 70an, semua infrastruktur masih sangat terbatas.

“Sempat ada pikiran mau dibawa dengan menggunakan helikopter,” lanjut Pak Sis.
Namun rupanya berdasar pertimbangan terlalu beresiko. Hingga akhirnya diputuskan lewat jalan darat dengan menempuh medan berat, melewati hutan, bukit, sungai dan jalan-jalan terjal.

“Saat dikerahkan Kesatuan Zeni (TNI AD). Jika melewati sungai, kesatuan Zeni terpaksa membuat jembatan darurat untuk bisa menyeberangkan batu hitam itu,” tutur Pak Sis.
Dengan upaya yang tidak mudah, akhirnya batu hitam itu sampai ke Blitar. Hingga hari ini, jika kita ziarah ke Makam Bung Karno, bongkahan batu hitam itu ada di atas nisan Makam Bung Karno dengan relief, salah satunya berupa epitaph “Penyambung Lidah Rakyat”.

Batu hitam itu, menambah suasana magis, sakral atau orang Jawa menyebutnya “wingit”. Bahkan Sekjen PA GmnI, Abdy Yuhana memberitahukan soal energi cahaya yang memancar dari batu hitam itu sering membentuk wajah harimau.
Lekukan-lekukan atau relik natural dari permukaan batu hitam itu, jika dilihat dari sudut tertentu memunculkan wajah sosok harimau.

Bahkan jika kita memotret pada malam hari, relik pada batu hitam itu memancarkan cahaya lampu yang pada sudut tertentu terlihat lebih jelas bagaimana wajah harimau memancar.

“Pancaran sinar dari batu hitam itu bisa membentuk wajah harimau. Bahkan pantulan cahaya dari batu hitam, sering menggambarkan suasana hati orang yang sedang difoto,” tuturnya.

“Wah Mas Agung ini lagi banyak mikir kayanya,” ujar Abdy Yuhana saat melihat pantulan cahaya dari batu hitam hasil jepretan salah satu foto dengan pose berdiri di sebelah batu hitam tersebut.

Pak Sis juga menceritakan wasiat Bung Karno lainnya yang kemudian dimanifestasikan ketika dirinya dipercaya untuk memugar dan membangun mausoleum Makam Bung Karno.

“Selain batu hitam, Bung Karno dalam wasiatnya juga meminta agar dimakamkan di bawah pohon besar yang rindang,” tutur Pak Sis.

Untuk ini, Pak Sis mencarikan pohon Nagasari. Pohon ini dikenal sebagai pohon keramat yang biasanya ada di makam-makam raja, orang-orang besar atau orang-orang suci.
“Kami mendapatkannya di sebuah daerah terpencil di Lampung,” tutur Pak Sis.
Pohon Nagasari memang jenis pohon langka dan tua. Di daerah yang sudah padat dihuni penduduk, nyaris sulit diketemukan.

Biasanya berada di tengah hutan, atau daerah-daerah yang sangat jarang dijamah manusia. Pohon ini juga dipercaya memiliki banyak ‘tuah’. Memiliki magisme tersendiri dan juga pohon yang disakralkan oleh masyarakat Jawa dan Indonesia.

Di Cirebon, pohon Nagasari terdapat di Makam Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Songo, penyebar Agama Islam di Pulau Jawa, yang terletak di Desa Astana, Kecamatan Gununjati.

Baik daun, batang, dahan hingga potongan kayu kecil, dipercaya memilih ‘tuah’ yang dipercaya memberi banyak berkah, termasuk untuk pelindung dari berbagai hal ghaib, serangan ilmu hitam atau berbagai hewan yang membahayakan seperti ular.

BAGIKAN :

Jangan Lewatkan

Menziarahi Bung Karno, Berdoa dan Menebar Kembang di Atas Pusara Makamnya, Gulungan Perkamen di Tembok Gapura, Catatan Perjalanan (4)

Menziarahi Bung Karno, Berdoa dan Menebar Kembang di Atas Pusara Makamnya, Peran Geo Politik dan Kosmopolitanisme Soekarno, Catatan Perjalanan (6)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *