JAKARTA- Pemerataan akses internet kini menjadi fondasi krusial dalam membangun ketahanan nasional yang inklusif dan berkelanjutan. Sejalan dengan visi Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang menempatkan pembangunan manusia dan transformasi digital sebagai prioritas utama, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) secara resmi meluncurkan Hasil Survei Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2025 dalam ajang Digital Transformation Indonesia Conference & Expo (DTI-CX), yang digelar di Jakarta International Convention Center, GBK
Dalam pemaparan resminya, Ketua Umum APJII Muhammad Arif, menyatakan bahwa tingkat penetrasi internet Indonesia saat ini telah mencapai 80,66%, setara dengan sekitar
229,4 juta jiwa dari total populasi 284 juta. Meski angka ini menunjukkan progres yang menggembirakan, Arif menekankan bahwa tantangan terbesar bukan hanya tentang
pencapaian angka tersebut, melainkan tentang siapa yang masih tertinggal dari akses digital.
Ia menyebutkan bahwa wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) hanya menyumbang
1,91% dari total pengguna internet nasional.
“Masih ada hampir 20% masyarakat kita yang
belum menikmati layanan internet. Daerah 3T hanya menyumbang 1,91%. Tapi mereka
tetap bagian dari Indonesia yang harus kita layani bersama,” ujarnya.
Pernyataan ini
menjadi pengingat bahwa ketahanan digital tidak boleh eksklusif bagi wilayah perkotaan
saja, melainkan harus menjangkau seluruh pelosok negeri. Pemerintah, industri, dan
masyarakat dituntut untuk bergandengan tangan memastikan bahwa tak ada rakyat yang
tertinggal dari revolusi digital hanya karena letak geografis mereka.
Survei juga menegaskan munculnya potensi luar biasa dari bonus demografi digital.
Generasi muda kini menjadi tulang dan punggung utama dalam lanskap ruang siber nasional, dengan Generasi Z menyumbang 25,17% dan milenial 23,19% dari total pengguna internet.
“Anak-anak kita sejak dini sudah menjadi bagian dari dunia digital. Hampir 100% anak
sekarang tidak bisa lepas dari internet,” ujar Arif.
Temuan ini sangat relevan dengan agenda
Presiden Prabowo dalam menyiapkan generasi emas Indonesia 2045 yang tangguh secara digital dan produktif secara ekonomi. Generasi digital native ini adalah aset yang sangat berharga, yang harus dilindungi, dibimbing, dan dibekali dengan infrastruktur serta literasi digital yang kuat agar mereka tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen nilai
dalam ekonomi digital global.
Dari sisi akses, pengguna internet nasional masih didominasi oleh perangkat mobile sebesar
83,39%, dengan koneksi utama melalui data seluler (74,27%). Namun, terdapat lonjakan
positif pada adopsi internet tetap (fixed broadband), dari 27,4% pada 2024 menjadi 38,7% pada 2025.
Arif menyatakan bahwa infrastruktur broadband nasional semakin membaik.
“Kalau soal harga, menurut kami di sisi operator, sudah sangat affordable, bahkan sudah
hampir menyentuh batas bawah,” jelasnya.
Dengan demikian, biaya bukan lagi penghambat utama, dan intervensi kebijakan ke depan dapat diarahkan pada perluasan jangkauan,
peningkatan kualitas layanan, serta percepatan konektivitas di wilayah rural dan 3T
Isu literasi dan keamanan siber juga menjadi sorotan dalam survei ini. Penipuan online
tercatat sebagai bentuk ancaman paling banyak dialami oleh pengguna (24,89%), diikuti oleh pencurian data pribadi dan praktik phishing.
“Banyak masyarakat kita yang masih
rentan. Bahkan hanya karena klik iklan, kartu kreditnya bisa langsung terdebet. Ini jadi tanggung jawab kita semua,” ujar Arif.
Situasi ini mempertegas pentingnya keamanan digital
sebagai bagian dari sistem pertahanan nasional yang lebih luas. Pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait harus menjadikan penguatan literasi digital, pelindungan data
pribadi, dan pembangunan ekosistem siber yang andal sebagai bagian integral dari agenda
Pembangunan manusia dan ketahanan nasional.
Lebih lanjut, APJII mengungkap bahwa dari lebih dari 1.300 penyelenggara jasa internet
(ISP) di Indonesia, sebanyak 52% merupakan usaha mikro. Sebagian besar dari mereka
melayani segmen rumah tangga, yang menjadi pangsa pasar terbesar saat ini (35,83%). Namun, industri ini kini menghadapi tekanan akibat tingginya tingkat persaingan di berbagai wilayah, terutama di daerah urban dan rural yang padat.
“Karena itu kami mendorong
adanya moratorium. Persaingan sudah terlalu padat, dan kita butuh penyehatan industri,”
tegas Arif.
Dalam kerangka ekonomi kerakyatan yang menjadi inti visi pemerintahan Prabowo, para ISP kecil ini tidak boleh dibiarkan mati oleh ketimpangan struktur pasar. Sebaliknya, mereka harus dibina agar menjadi ujung tombak transformasi digital hingga ke
Pelosok desa.
Usai seremoni peluncuran, APJII menggelar diskusi panel mendalam (in-depth panel
discussion) bersama media. Dalam forum ini, Sekretaris Umum APJII, Zulfadly Syam, menjelaskan bahwa survei ini disusun dengan margin of error 1%, berdasarkan 8.700
Responden dari 38 provinsi melalui metode multistage random sampling.
Ia menjabarkan bahwa indikator “penetrasi” mengacu pada proporsi penduduk tersambung internet di satu wilayah, sementara “kontribusi” mengukur seberapa besar porsi pengguna dari wilayah itu
terhadap total nasional.
Dari sisi daya beli, survei mengungkap bahwa 74,31% pelanggan fixed broadband menganggap kisaran tarif Rp 100.000- Rp 300.000 per bulan sebagai
rentang harga yang ideal. Namun, dari sisi keamanan digital, 41,26% responden mengaku
tidak pernah mengganti kata sandi dan 31,1% bahkan merasa tidak perlu melakukannya, temuan yang menunjukkan betapa pentingnya edukasi literasi digital yang berkelanjutan.
Zulfadly juga menyoroti tantangan dalam ekosistem ekonomi digital. Meskipun internet kini tersedia luas, sebanyak 76,7% responden belum memanfaatkannya untuk kegiatan bisnis
atau ekonomi produktif.
“Kita khawatir masyarakat justru menjadi warga rebahan, pasif mengonsumsi, bukan aktif berproduksi,” ungkapnya.
Oleh karena itu, ia menekankan
perlunya akselerasi program UMKM go-digital dan literasi kewirausahaan daring. Menjawab
Pertanyaan mengenai investasi infrastruktur di wilayah 3T, Zulfadly menegaskan pentingnya
kebijakan afirmatif berupa insentif, relaksasi pajak, atau proteksi regulasi agar ISP mau
membangun jaringan di wilayah- wilayah yang secara geografis menantang. Tanpa intervensi
seperti itu, lanjutnya, investasi akan terus terkonsentrasi di wilayah yang mudah dijangkau.
Zulfadly juga menyampaikan bahwa kesenjangan gender dalam akses internet kini semakin tipis, dengan penetrasi pada laki-laki dan perempuan sudah sama-sama di atas 75%. Meski
demikian, perbedaan dalam pola konsumsi konten tetap terlihat dan dapat menjadi dasar
perumusan program literasi digital yang lebih tematik dan inklusif
Acara peluncuran hasil survei turut dihadiri oleh Dirjen Teknologi Pemerintahan Digital Kemkomdigi, Mira Tayyiba, serta Deputi IV BSSN, Deputi VII Kemenko Polkam, dan mitra strategis lainnya. APJII menegaskan bahwa laporan ini bukan hanya berfungsi sebagai dokumentasi tahunan industri, melainkan juga sebagai referensi nasional dalam perumusan
roadmap pembangunan infrastruktur digital.
“Kami percaya bahwa ekosistem digital yang sehat, inklusif, dan aman bukan sekadar urusan teknologi, tetapi fondasi bagi ketahanan nasional Indonesia di abad ke-21,” tutupnya. (Megy)
Komentar