OPINI – Tersembunyi di timur matahari terbit, berdiri tanah yang menyimpan harta paling purba dan luka paling lama. Bukan tanah asing, bukan tanah jauh, ia adalah bagian tubuh Indonesia yang kerap diabaikan denyutnya. Papua. Ia bukan pinggiran, bukan anak tiri sejarah. Ia adalah wajah jujur dari republik yang belum selesai menunaikan janjinya.
Di hamparan gunung dan lembah yang agung, pendidikan masih menjadi nyala lilin yang terus digoyang angin. Anak-anak berjalan tanpa alas kaki, menapaki jalur yang berlumpur, menyeberangi sungai berarus deras, hanya untuk sampai di bangku kelas yang setengah roboh. Banyak yang tak pernah sampai. Di atas kertas, data itu terlihat sebagai angka, tetapi di baliknya adalah wajah-wajah mungil yang terjaga dari pagi hingga malam, menanti guru yang tak kunjung tiba.
Kesehatan pun masih menjadi kemewahan yang hanya dikenali oleh sebagian kecil. Di banyak kampung, kelahiran dan kematian terjadi di rumah-rumah panggung, tanpa bidan, tanpa dokter, hanya ditemani doa-doa yang dibisikkan pelan. Seorang ibu bisa mengembuskan napas terakhir karena pendarahan yang tak tertangani. Seorang anak bisa demam berhari-hari sampai tubuhnya dingin, bukan karena tak ada cinta, tetapi karena tak ada klinik, tak ada tenaga medis. Di tanah yang kaya ini, nyawa masih terlalu murah.
Padahal dari tanah ini, emas dipanen seperti biji-biji padi. Hutan ditebang seperti menyapu daun kering. Gunung digali, sungai dialirkan ke tambang, dan kekayaan itu mengalir jauh, melintasi lautan, menuju kota-kota besar dan gedung-gedung kaca. Namun, rakyat yang hidup berdampingan dengan tambang-tambang itu tetap hidup dalam kekurangan. Rumah mereka beratap daun, dapur mereka mengepul seadanya, dan anak-anak mereka makan seadanya. Dana otonomi khusus yang katanya sebesar gunung, hanya berujung di meja-meja pejabat. Laporan korupsi bukan lagi berita, melainkan kebiasaan yang mengendap.
Namun Papua bukan sekadar tanah yang digali atau kekayaan yang dihitung. Ia adalah suara tifa di malam hari, ia adalah tarian yang mengikuti irama hujan. Ia adalah adat yang lebih tua dari republik, hukum yang tertulis di batu dan sungai. Perempuan-perempuan Enggros menyelam di hutan mangrove bukan hanya untuk mencari kerang, tetapi untuk menjaga warisan yang tak bisa dijual atau dibeli. Dan ketika perusahaan datang dengan dokumen, mereka tidak melihat adat. Mereka hanya melihat nilai jual. Dan di sanalah, warisan mulai tergerus.
Dari luka-luka itu, suara kemarahan lahir. Sebagian memilih mengangkat senjata. Organisasi Papua Merdeka tumbuh bukan dari kehendak asing semata, tapi dari rasa ditinggalkan. Namun, ketika kemarahan itu berubah menjadi peluru yang membunuh guru, membakar sekolah, menculik warga sipil, maka perjuangan kehilangan arah. Negara tak boleh diam. Tapi negara juga tak boleh membalas luka dengan luka. Negara harus hadir, tidak hanya dengan pasukan, tetapi dengan keadilan yang tak pilih kasih.
Di tengah konflik dan ancaman, prajurit-prajurit TNI berdiri. Mereka tak semuanya datang dengan senjata di tangan. Banyak dari mereka mengajar, mengantar logistik, menjadi pelindung dalam sunyi. Mereka pun manusia. Mereka gugur, mereka menjadi sasaran, mereka menangis diam-diam. Mereka bukan penjajah, mereka bukan pemukul. Mereka adalah wajah tanggung jawab, yang berdiri di tanah yang pernah dijanjikan sebagai bagian dari negeri ini.
Namun saat suara dari luar negeri berteriak tentang kemanusiaan dan hak, kita patut bertanya: apakah mereka mengenal tanah ini? Apakah mereka tahu nyanyian Enggros, tahu sejarah Biak, tahu perih kehilangan dalam diam? Atas nama HAM, mereka kerap membawa peta, bukan empati. Dan campur tangan yang disusupkan atas nama belas kasih, seringkali hanya kedok dari niat mencabik kedaulatan.
Indonesia tak bisa dibangun setengah hati. Papua bukan beban—ia adalah martabat. Kita tak bisa terus membiarkan janji-janji merdeka hanya berdiam di pidato. Jalan yang belum dibangun, sekolah yang belum berdiri, puskesmas yang belum selesai, bukanlah kegagalan teknis. Ia adalah pengkhianatan moral.
Kita tak ingin Papua pergi. Tapi kita juga tak boleh berharap ia bertahan hanya karena ancaman. Ia harus dipeluk, bukan ditekan. Ia harus dihormati, bukan diawasi. Ia harus dibangunkan, bukan sekadar disuruh bangun sendiri.
Membangun Papua bukanlah proyek, tapi perjalanan batin bangsa ini. Ia adalah cermin: jika Papua masih tertinggal, maka Indonesia belum utuh. Maka setiap rupiah yang dikorupsi di tanah Papua adalah peluru yang melukai Indonesia. Setiap adat yang dirusak adalah dinding rumah kita yang retak.
Papua adalah Indonesia—bukan karena ia ada di peta. Tapi karena darah, air mata, dan harapan rakyatnya telah menjadi bagian dari kita semua. Dan Indonesia hanya akan merdeka sepenuhnya jika Papua merasa menjadi rumah. Bukan ladang tambang. Bukan lahan konflik. Tapi rumah.
Indonesia yang sejati adalah Indonesia yang tidak membiarkan satu pun anaknya merasa sendirian. Termasuk Papua. Terutama Papua.
Oleh: Arvindo Noviar
–Ketua Umum Partai Rakyat
Komentar