Masa Depan Museum di Indonesia

JURNALREALITAS.COM, OPINI – Museum adalah gedung atau bangunan yang dijadikan tempat konservasi, studi, pameran, dan pengetahuan. Selain menyimpan benda-benda peninggalan sejarah, seni maupun ilmu pengetahuan dan ilmiah yang dipamerkan untuk umum.

Setiap tanggal 18 Mei, kita memperingati Hari Museum. Meski kedengarannya tidak penting, namun apa jadinya sebuah negara tanpa museum alias peninggalan sejarah.

Banyak negara di dunia yang cukup mengandalkan sektor pariwisata untuk meningkatkan ekonomi negaranya. Menara Eiffel di Paris, Menara Pisa di Italia, Piramida dan Spinx di Mesir, Koloseum di Roma, Borobudur di Indonesia, Tembok Raksasa di Cina, Taj Mahal di India, hingga Kabah di Mekah.

Memiliki foto dengan latar belakang tempat-tempat sejarah ini, jadi kebanggaan tersendiri. Bukan hanya sejarahnya yang menarik, namun juga bagaimana bisa sampai ke sana.

Setiap individu yang pernah mengunjungi tempat-tempat ikonik dunia ini punya cerita dan kenangannya masing-masing.

Kehadiran bangunan tradisional dari 34 provinsi di Taman Mini Indonesia Indah pun, sesungguhnya bisa memuaskan masyarakat yang tidak bisa bertandang ke lokasi aslinya karena faktor ekonomi maupun kesehatan. Namun, perlu diakui bahwa negara kita perlu kurator-kurator yang punya dedikasi dan integritas yang tinggi. Selain juga mengikuti inovasi, teknologi dan kreatif dalam menjalankan program-program di museumnya. Alias berwawasan luas.

Siapa itu kurator? Kurator adalah posisi tertinggi dari sebuah museum. Ia bertanggung jawab pada koleksinya, masa depan museumnya, kegiatan dan aktifitas di dalamnya, dan program-program baru ke depannya.

Pendidikan kurator sendiri minimal S2, dengan kemampuan manajerial, bisnis, seni, dan entertainment. Ia adalah konseptor yang mampu memaksimalkan segala kegiatan dan aktifitas di setiap ruang di museum yang dikelolanya. Seorang kurator juga harus punya pengetahuan visual, tata cahaya, tata ruang, tata musik/suara, disain, interior, punya jaringan yang luas, sekaligus seorang komunikator yang baik.

Seorang kurator juga harus menjaga koleksi tetap di museumnya, tahu bagaimana memelihara, memperbaiki, hingga memastikan keaslian terus terjaga dengan baik.

Siapapun pengunjung di museumnya, anak-anak hingga lansia, berpendidikan rendah hingga tinggi, kolektor seni atau pengemis sekalipun. Kurator harus mampu berkomunikasi dengan semua kalangan, tanpa pandang bulu.

Sayangnya, banyak kurator yang terbatasi lantaran masalah dana dan pengetahuan. Keterlibatan pihak swasta sangat diperlukan. Beberapa organisasi dan yayasan di luar negeri pun, sesuangguhnya banyak yang menawarkan pembiayaan proyek para kurator dari luar negeri. Sayangnya, kita belum mempunyai pakem-pakem yang kuat untuk membangun kesamaan visi misi para kurator museum.

Sehingga, seringkali penampilan museum kurang terurus, berdebu, banyak keterangan yang hilang, pencahayaan yang kurang, interior yang tidak menarik, dll. Sehingga sulit memasarkannya apalagi menarik perhatian masyarakat umum.

Tugas dan tanggung jawab kurator memang berat. Tapi sesuangguhnya cukup menantang.

Ia mungkin saja bekerja dengan banyak tim. Namun, seringkali juga harus bekerja sendiri atau dengan tim kecil.

Di beberapa negara di luar negeri, pendidikan kurator ini didapat di jurusan Arts Management (Manajemen Seni). Dimana mereka akan belajar manajerial, administrasi, bisnis, ekonomi, kepemimpinan, pemasaran, penjualan, pencarian dana, enterpreneur, dsb. Namun juga harus mempelajari seni. Mulai dari seni kuno, tari, teater, lukisan, tekstil, ukiran, hingga new media dan digital.

Ditambah pengetahuan tentang sejarah, budaya dan tradisi. Baik lokal maupun dunia.

Tanpa semua wawasan tersebut, masa depan museum di Indonesia hanya tinggal bangunan. Karena museum perlu diisi baik pameran tetap, maupun kegiatan dan aktifitas yang baru.

Kurator harus mampu menciptakan komunitas-komunitas yang dapat menggerakkan jantung museum sebagai rumah kedua bagi masyarakat. Termasuk komunitas kolektor seni. Karena di situ, kurator bisa mendapat dana bagi program-programnya.

Oleh: Imelda Stefanny
Pemerhati Pendidikan Sosial dan Budaya
-Jurnalis JurnalRealitas.com