Menciptakan Lebih Mudah Dari Memperbaiki Kerusakan

JURNALREALITAS.COM, OPINI – Setiap tahun, perkotaan selalu dibanjiri pendatang dari pedesaan yang mengadu nasib di kota. Masalah klasik.

Kehidupan di desa yang damai, asri dan sederhana, sering kali dianggap monoton. Mereka mau sesuatu yang baru, petualangan. Sajian di televisi pun, menggugah daya imajinasi anak-anak di desa untuk pergi ke kota-kota besar.

Cita-cita menjadi petani pun berubah menjadi anak kota yang dipenuhi mainan, rumah megah, taman yg indah, dll.

Agen tenaga kerja dari yang nakal maupun yang resmi terdaftar di Departemen Tenaga Kerja pun, memfasilitasi daya imajinasi anak-anak desa tersebut. Dengan dalil, orang kota selalu butuh tenaga buruh.

Cita-cita mereka sederhana. Mulai dari bertemu artis favorit, mengunjungi tempat rekreasi, mall dsb. Mereka tidak tahu, untuk datang ke tempat-tempat tersebut perlu modal dan kerja keras.

Sesampainya di kota, mereka harus membayar semua biaya yang dikeluarkan oleh agensi. Mulai dari transportasi ke kota, akomodasi, pelatihan, administrasi, komisi dll.

Mereka pun mulai frustasi. Gambaran imajinasi itu pupus sedikit demi sedikit. Sementara orangtua di kampung berharap mereka bisa segera mengirimkan uang, atau setidaknya kabar.

Untuk menutupi rasa sesal dan kecewa, mereka mulai berbohong dan kembali berkhayal. Meski, tak jarang orangtua pun curiga karena insting. Namun, orangtua pun mulai menutupi rasa malu pada tetangga.

Masalah pun menjadi semakin komplek. Seperti benang kusut yang terlihat ujungnya, namun tak tahu cara mengurainya.

Ada yang jadi asisten rumah tangga, pekerja seks, dijual, dilatih untuk mencuri, jual barang haram, dll dsb. Tak jarang mereka berakhir di penjara. Malu memberi kabar dan memilih hilang.

Jati diri mereka pun hilang. Kekecewaan demi kekecewaan harus mereka telan seorang diri.

Kebanyakan bertahan demi gengsi. Sehingga tidak ingin pulang sebelum berhasil.

Lalu, siapa yang salah? Mereka, agensi, orang kota, atau ekonomi?

Sebenarnya, di mana pun kita tinggal, anak desa atau kota, menghadapi hal yang serupa. Selalu mengira rumput tetangga lebih bagus dan hijau, ketimbang memperbaiki dan merawat rumput kita sendiri.

Penolakan pada keadaan, membuat kita terlena dan lupa bersyukur.

Bahwa belajar bersyukur itu harus dipupuk sejak dini. Dengan bangga menjadi diri sendiri dan apa yang kita punya.

Kita tidak bisa berharap pada orang lain. Bukan kewajiban mereka untuk meningkatkan martabat dan kehidupan kita. Karena pilihan hidup ada di tangan kita.

Banyak orang berpikir, kalau memiliki anak itu investasi masa depan. Memberikan pendidikan, pengetahuan, kebahagiaan, kesenangan, akan membuat anak-anak menjadi sukses. Sehingga membuat orangtua aman, saat harus bergantung pada anak kelak.

Orangtua macam ini disebut orangtua debt collector alias tukang tagih.

Lalu, orangtua macam apakah yang diharapkan/dibutuhkan oleh anak? Agar anak mempunyai jati diri, kepribadian dan sikap.

Seperti selembar kertas putih, begitulah ketika anak dibentuk. Apa yang kita ucapkan, lakukan, dan bagaimana kita bersikap, membentuk anak. Terkadang kita tidak sadar menggunakan kata-kata yang bisa menjadi racun bagi kehidupan mereka.

Berikut acuan yang harus diperhatikan para orangtua, yang bisa jadi kita tidak tahu atau sadar:

  1. Orangtua wajib membuat anak mencintai fisik mereka. Berapa banyak orangtua yang memanggil anak mereka dari bentuk fisik, seperti si gendut, si kerempeng, si hitam, si bule, si kriwil, dll. Hal ini bisa membuat anak merasa tidak nyaman dengan fisik mereka. Menyesali punya fisik seperti itu. Hingga menjadi minder atau pemalu.
  2. Membuat anak nyaman menjadi dirinya sendiri, tanpa takut akan dihina atau ditertawakan orang. Lantaran beda dari anak-anak lain. Berapa banyak orangtua yang malu dengan perilaku anak karena mendengarkan kata orang. Mulai dari cara bicara, cara berjalan, cara makan, cara berpikir, dll. Padahal itu membuat mereka kehilangan karakter atau kepribadian asli mereka. Bahwa, semua orang diciptakan unik dan berbeda. Jadi, tidak ada salahnya menjadi beda. Yang justru harus kita ajarkan adalah bagaimana mereka menoleransi perbedaan dan keunikan anak-anak lain.
  3. Mensyukuri kehadiran mereka sebagai berkah yang tak ternilai. Berapa banyak orangtua yang menyesali kehadiran anaknya dan mengatakannya ketika kesal? Seperti, tahu gini tidak usah dilahirkan, atau saya menyesal telah melahirkan kamu, coba anakku bukan kamu, kamu cuma bikin aku bangkrut, bikin capek saja, dll. Sehingga anak merasa tidak dihargai, hanya jadi beban hidup orangtuanya.
  4. Menyemangati anak untuk percaya pada kemampuan mereka. Jangan pernah membandingkan dengan anak-anak lain. Karena hal itu hanya akan membuat mereka iri, putus asa dan tidak pernah cukup baik bagi hidup. Contohnya, kamu bodoh tidak seperti sepupu kamu, kamu tidak guna, tidak akan berhasil, dll. Padahal kita sadar keberhasilan itu tidak mudah dan butuh proses panjang.
  5. Yakinkan bahwa kita menerima mereka apa adanya. Dan selalu ada saat mereka perlukan. Buat anak menjadi aman. Berapa banyak orangtua yang sering mengancam anak seperti akan meninggalkannya bila anak nakal, menaruh di tempat lain, akan dipukul, dll. Anak akan selalu hidup dalam ketakutan. Merasa ditolak/disingkirkan. Selain kata-kata ancaman tidak akan membuat mereka sadar kalau itu tidak baik, melainkan karena takut pada ancaman. Perlu diingat, mengancam anak hanya akan membuat orangtua kelak diancam/dikecam saat mereka dewasa.
  6. Orangtua harus selalu menepati janjinya. Hal ini penting untuk menumbuhkan rasa percaya pada orangtua mereka. Suatu hubungan yang sehat, dimulai dari rasa percaya. Anak juga belajar menepati janjinya, bila mempunyai orangtua yang selalu menepati janjinya.

Seperti ungkapan Frederick Douglass soal karakter, “Lebih mudah menciptakan anak yang hebat daripada memperbaiki orang dewasa yang sudah rusak.” Jadi, tunggu apa lagi. Perbaiki selagi masih ada waktu.

Oleh: Imelda Stefanny
Pemerhati Pendidikan Ekonomi Sosial dan Budaya
-Jurnalis JurnalRealitas.com