Menyikapi Perkembangan Jaman

JURNALREALITAS.COM, OPINI – Banyak orangtua bilang, anak-anak jaman sekarang panik kalau tidak ada wi-fi , tidak ada signal , dan baterei smartphone -nya habis. Pada kenyataannya, tidak hanya anak-anak jaman sekarang saja yang panik, semua orang akan panik.

Apalagi bila yang mengalami pedagang atau pelaku bisnis online . Bagaimana ia mendapat pesanan, kalau alat komunikasi dengan pelanggannya tidak beroperasi?

Tambahan lagi sejak pandemi. Semua orang, tak terkecuali, butuh telepon pintar (smartphone). Untuk memudahkan para pengguna, inovasi-inovasi pun dilancarkan, guna memanjakan para penggunanya. Mulai dari sarung, earphone , power bank, penyangga telepon, hingga kacamata anti radiasi.

Bila jaman dulu ada Buku Pintar, kini ada mbah Google . Kalau dulu ada yellow pages , sekarang tak lagi.

Teknologi terus mengadakan perubahan-perubahan yang sebenarnya memudahkan manusia untuk berkembang. Namun, sayangnya, mengapa justru semakin banyak yang tersesat?

Sosial media digunakan untuk merundung, menghina, menyesatkan, menyebarkan paham terorisme dan kebencian, pornografi dsb. Hingga banyak juga yang akhirnya menutup akunnya untuk menghindari toxic (racun) dalam dirinya.

Padahal, tujuan dari sosial media adalah untuk memudahkan kita dalam berkomunikasi, berinteraksi dan menyebarkan kebaikan.

Belum lagi kehadiran para hacker (peretas) , yg mendukung para hater (pembenci) .

Sebagai orangtua, tentu banyak yang bingung menyikapi itu semua. Meski sudah ada berbagai aplikasi guna memonitor kegiatan anak, namun, tidak mampu melindungi semuanya. Bahkan seorang psikolog pun mengalaminya.

Karena new normal ini, tidak mengenal suku, agama, ekonomi, latar belakang pendidikan, geografis, dsb. Sehingga semua lapisan masyarakat harus mampu mengantisipasi dengan cepat perubahan jaman ini.

Mengantisipasi di sini berarti merancang rencana/ program/kebiasaan baru untuk menjalankan kehidupan yang baru ini, di seluruh dunia, karena dialami oleh semua orang dimuka bumi ini, tanpa kecuali.

Beberapa orang yang terbiasa berpikir dan bertindak cepat, tentu saja dengan mudah beradaptasi. Namun, hal itu tidak terjadi pada mereka yang senang berada di titik nyaman. Alias sulit menerima perubahan atau masih melihat ke belakang/masa lalu.

Tekanan-tekanan dalam lingkungan keluarga, tempat belajar dan bekerja pun menambah keruwetan. Sehingga menghambat kita untuk cepat beradaptasi. Kebanyakan keruwetan tersebut diakibatkan oleh masalah-masalah yang memang sudah ada sebelum new normal ini.

Lalu, apa saja yang perlu kita ubah? Ada baiknya kita kenali akar permasalahannya dulu. Karena tiap keluarga dan komunitas, pasti punya kebiasaan dan masalah yg berbeda. Bisa dari cara pandang, tujuan hidup, pola pikir, cara komunikasi, cara berinteraksi, dll. Yang pasti, hubungan atau ikatan itu perlu diperbaiki dan dirancang bersama-sama. Keterlibatan seluruh anggota keluarga, akan membuat setiap anggota menghormati dan menjalankan rancangan tersebut dengan baik. Yang pasti, namanya rancangan, harus fleksibel. Bisa diubah sesuai keputusan bersama, demi kebaikan bersama.

Program Merdeka Belajar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, tidak akan berjalan mulus, bila para orangtua juga tidak mencanangkan kemerdekaan dalam keluarga. Di mana orangtua juga perlu belajar banyak untuk anak-anak mereka. Karena pembentukan karakter anak berawal dari keluarga.

Bila orangtua menuntut anak untuk belajar dan berubah, berarti orangtua harus belajar dan berubah lebih dulu. Bila anak kurang disiplin, mungkin karena orangtuanya pun tidak disiplin.

Jadi, janganlah kita lupa pada istilah “buruk muka, cermin dibelah”. Karena menyalahkan keadaan yang buruk kepada orang lain, bukanlah sikap orang bijak.

Bila kita dengar banyak yang depresi saat menghadapi pandemi ini adalah karena sulitnya berubah/beradaptasi, sehingga menjadi tidak nyaman. Lalu, bagaimana menciptakan kenyamanan? Yang pasti dimulai dari menerima perubahan, melihat dari sisi positif, sehingga kita mampu mensyukuri. Dengan demikian, kita mampu mengatasi masalah-masalah yang ada dengan keluasan dan keluwesan hati.

Seperti kata Aristotle, “Educating the mind without educating the heart is no education at all” (Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukanlah pendidikan sama sekali).

Oleh: Imelda Stefanny
Pemerhati Pendidikan
-Jurnalis JurnalRealitas.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *