Wajah Pendidikan Indonesia Sebelum Pandemi (Bagian II)

JURNALREALITAS.COM, OPINI – Pada bahasan sebelumnya, masalah peringkat PISA (Programme for International Student Assessment) vs biaya pendidikan di Indonesia yang tertinggi, telah kita bahas. Demikian juga dengan kualitas tenaga kerja.

Di bagian II ini, mari kita bahas lebih dalam tentang kemampuan siswa kita dalam memahami bacaan, matematika dan ilmu pengetahuan. Karena 3 aspek itulah yang menjadi tolak ukur OECD (The Organisation for Economic Cooperation and Development) dalam menentukan urutan penilaian PISA. Evaluasi pendidikan OECD ini dilakukan setiap 3 tahun sekali.

Baca juga :

Wajah Pendidikan Indonesia Sebelum Pandemi (Bagian I)


Ada 78 negara yang tergabung dalam PISA. 5 Negara tertinggi diraih oleh Cina, Singapura, Makau, Hongkong. dan Estonia. Namun kita di sini bukan ingin membahas bagaimana negara-negara tersebut bisa ada di peringkat atas. Melainkan, bagaimana Indonesia berada di peringkat 10 terendah, sebagai evaluasi kita bersama.

Tentu saja biaya pendidikan yang tinggi, kualitas tenaga pengajar menjadi salah satu faktor di dalamnya.

Namun, faktor utama sebenarnya ada di pendidikan orangtua siswa. Masih tingginya angka buta huruf di Indonesia (1,93% atau lebih dari 5 juta jiwa, menurut BPS tahun 2020), merupakan kendala terbesar.

Hal ini mempengaruhi minat baca pada orangtua siswa (termasuk orangtua yang melek huruf sekali pun), yang mempengaruhi minat baca anak.

Di bandingkan Jepang, misalnya, yang mempunyai minat baca yang tertinggi di Asia, selain Cina dan India. Jepang berhasil menerbitkan 82.000 buku per tahun dengan jumlah penduduk 126 juta jiwa. Sementara Indonesia menerbitkan 30.000 buku pertahun dengan jumlah penduduk 271 juta jiwa.

Artian membaca disini bukan sekedar bisa membaca, namun memahami bacaan. Sehingga menambah ilmu secara permanen, bukan sementara/hafalan.

Pemahaman siswa pada ilmu pengetahuan dan matematika di Indonesia juga cukup rendah. Tentu saja minat baca mempengaruhi pemahaman di dua bidang ini. Menurut statistik, dari hampir 6000 orang, hanya 1 yang punya kebiasaan gemar membaca.

Lalu, bagaimana agar kita mengejar ketertinggalan ini? Tentu dengan membaca buku sebagai jendela dunia.

Di akhir bagian ini, saya akan mengutip kalimat bijak dari seorang Moh. Hatta,

“Hanya satu tanah yang bisa disebut tanah airku. Ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu adalah usahaku.”

Yuk, mulai gemar membaca sebagai usaha kita, agar kita bisa memiliki tanah air.

Oleh: Imelda Stefanny
Pengamat Pendidikan
-Jurnalis Jurnalrealitas.com